Selasa, 10 November 2015

Gagal Pakansi ke Derenten

Tipo : "Gajah.. Gajah.. Mah... Mah.... Mamah gajah..."
Gw   : "Apa de? Mamah segede gajah? Diajarin siapa bilang mamah segede gajah? Si ayah surayah?"

Gajah is the it word of the month buat Tipo belakangan ini. Apa-apa yang ada gambar atau bentuk mirip gajah selalu ditunjuk dan dilaporkan saat itu juga ke gw dan pak suami. Tadinya demi memenuhi hasrat si anak yang sedang tergila-gila dengan gajah, gw dengan niat mulia mencari jadwal nyanyi Tulus, kalau ada konser Tulus lah sekalian. Kenapa Tulus? Kan Tulus yang nyengnyong lagu berjudul  gajah,. Kan gw ngepens Tulus. Kan modus biar sekali-kali nonton konser hahahaha. Ya nggak gitu-gitu juga sih akhirnya.

 Suatu hari gw ada dinas di daerah Setiabudi. Hari terakhir penutupan seperti biasa nggak sampai sore. Pak presiden menawarkan diri untuk menjemput ibu negara. Tentu saja ibu negara menyambut dengan sukacita, sambil menambahkan "Yah, bawa Tipo ya. Di sini ada kolam ikan koi gede-gede. Pasti Tipo suka." Treng-treng, datanglah pak suami dan Tipo menjemput. Ndadidalah begitu anaknya ditunjukin kolam ikan malah nangis kejer, sepertinya takut lihat penampakan ikan koi gede-gede yang mengintimidasi. Maklum, standar ikan koi versi Tipo baru sebatas koi di kolam tetangga yang masih piyik.

Kolam ikannya ada di seberang gambar milik ini


Kasian nih Tipo malah nangis-nangis, akhirnya kita sepakat membawa Tipo jalan-jalan melihat gajah biar nangisnya berhenti. Kemana? Ke tempat yang ada gajahnya dongs. Yaaay... up up naik terus ke arah Lembang dan berhenti di depan Kampung Gajah. Terus masuk ke Kampung Gajah? Ya enggak lah, orang ngga ada rencana main ke sana. Ngga ada duitnya pula. Kita cuma berhenti di depan pintu masuk Kampung Gajah dan nunjuk satu-satu patung gajah yang ada di depannya. Udah gitu doang sih. Terus anaknya gimana? Anaknya mah hepi-hepi aja. Ngabsen kepala gajah satu-satu selama 5 menit. Terus kita balik arah pulang ke rumah. Mampir dulu deng ke McD beli Happy Meal. Terus ke Lavie, Terus baru aja 10 menit dipegang, mainan Happy Mealnya menghilang diantara tumpukan barang jualan Lavie. #penting.

Gambar milik  sini

Demi menebus rasa bersalah karena kemarin cuma mampu nunjukkin patung gajah, hari Minggu kita sekeluarga merencanakan pergi ke kebun binatang. Yess...NOT. Rencana tinggal rencana. Tanda-tanda kegagalan mulai terasa saat pak presiden susah dibangunkan pagi-pagi. Kemudian pak suami melenggang santai santai belum lengkap tanpa silverqueen  BAB, cuci mobil, mandi, sarapan, dan... ngecek bengkel. Yaiyalah kita baru berangkat jam 11 siang.

Baru sampai parkiran, hujan deras udah menyambut. Untungnya... masih ada untungnya nih, Tipo lagi tidur pulas dari setengah jalan tadi. Terus kita ngapain dong? Ya diem aja di dalam mobil. Berharap hujan segera usai. Mendung segera berlalu. Kebun binatang segera dituju. Mimpi aja keless... yang ada hujan malah tambah deras. Gw mengajak pergi ke tempat lain. Kata pak suami "eh kita kan udah bayar tiket parkir mahal-mahal. Sayang kalau langsung pulang. Tunggu lah barang 10 menit lagi. " Hadeuh.
Tiket Parkir yang membuat kita rela nongkrong di pinggir jalan 20 menit.
Perhatikan gambar di kiri atas. Aya aya wae.


Sambil mengomeli prinsip suami yang  OGI (ogah rugi), gw browsing cari-cari tempat main yang indoor di sekitaran. Mal dicoret dari daftar karena bosen itu-itu aja. Lagipula berpotensi besar menguras dompet. Kebun mini di atas PVJ juga dicoret karena tetep kehujanan dan jalan ke sananya males macet. Saung Ujo sama aja macetnya juara. Trans Studio, jelas nggak lah ya, Tipo ga bakal bisa naik semua wahana di sana. Ujug-ujug keingetan, "kita ke museum geologi aja yuk!"

Foto jadul pas lagi ada acara di gedung sebelahnya.

Yuk mari, museum geologi tujuan selanjutnya. Bayar tiket buat 2 orang dewasa @ Rp 3.000,- , balita gratis, bayar parkir Rp 2.000,- , maka dengan total kerusakan Rp 8.000,- kita udah bisa melenggang masuk ke museum geologi. Kirain hari minggu pengunjungnya nggak bakal sebanyak hari-hari biasanya yang dari luar udah kelihatan banyak bus berderet-deret. Ternyata hari minggu juga masih ada aja sekolah yang karyawisata. Apesnya kita barengan masuk sama rombongan adik-adik dari sebuah SMP. Jadi bisa dibayangkan lah ya gimana huru-hara yang terjadi saat itu. Yang mau foto-foto di setiap sudut display minimal 10 jepret, 25 gaya, 36 sudut. Yang sibuk nulis menyalin penjelasan display. Yang semena-mena mecet-mencet touchscreen display. Yang wangi semilir keringat ABG campur air hujan. Yah begitulah rasanya. Gw sampai memutuskan melipir dulu di pojokan informasi sambil menunggu mereka digiring masuk ke ruang auditorium.

Selesai kericuhan, barulah gw berani mengkesplorasi setiap sudut museum <<<Mengeksplorasi>>>
Namanya anak balita nggak tertarik dengan tulisan segambreng di tiap koleksi. Maunya nunjuk rangka binatang aja. Itupun dengan takut-takut, tapi akhirnya Tipo mau jalan sendiri ngga digendong terus. Jadi gw ga terlalu membaca detail tiap display yang sebenarnya (buat gw) menarik banget. Tak lupa poto di spot wajib, kerangka Tyranosaurus Rex. Mimpi buruk/idola setiap anak kecil tahun 90'an. Thanks to Mr. Spielberg.

                                                            Gambar milik ini

Museumnya sendiri ngga gede. Jalan sambil baca-baca dan melihat tiap koleksi dari ujung ke ujung paling menghabiskan waktu 45-60 menit aja. Tanpa diskusi yah, sekedar melihat dan membaca sambil mengamati sekilas. Mungkin akan lebih seru kalau dipandu guide, informasinya bakal lebih mendalam. Kita ngga cuma haho haho baca doang sambil berusaha menggali ingatan pelajaran jaman SMP-SMA yang udah bertahun-tahun lampau hilang ketimpa ingatan cicilan rumah dan kendaraan. Jleb.

Bawa balita ke museum geologi agak riweuh karena mereka biasanya belum mengerti. Kecuali di bagian kerangka binatang yang lebih menarik perhatian. Apalagi kalau emak-bapaknya suka mendongeng, bisa jadi bahan dongeng yang bagus buat nanti malam.

Catatan kecil; museum geologi ini sebenarnya bagus, tata display koleksi  dan alurnya juga enak, informatif dan nggak terlalu out dated. CUMAAAA... mayoritas display dan informasi yang kekinian, misalnya aja layar touchscreen dan laser scanner batuan, udah pada error. Pantes aja sih kalau melihat gimana perlakuan para pengunjung yang mayoritas anak ABG ini. Gila bok, Afgan semua! Sedih gw melihatnya. Masa layar touchscreen dijadiin alas bertumpu tangan 10 ababil yang pengen "berfoto dengan pencahayaan yang bagus dari bawah"? Demi melihat serombongan ababil lain yang geser-geser layar lain dengan brutal, rasanya pengen nyembur mereka pake api dari mulut. *Kemudian belajar debus ke Banten*

Padahal yah padahal, pengadaannya pasti susah tuh. Pake perencanaan dari dua tahun sebelumnya, pake uang negara yang notabene dari rakyat juga, pake lelang, pake resiko pejabat pengadaan barang dan jasa yang sewaktu-waktu bisa kena jerat pasal karet korupsi padahal cuma jadi tumbal aktor intelektual. Weits curcol nih, kok melebar nih. Mungkin lebih baik kalau misalnya ada petugas yang mengawasi atau yang sekalian aja standby di sebelah alat tersebut menerangkan bagaimana cara pemakaian yang benar. You happy, me happy, everybody happy.

Terus kapan mau melihat GAJAH yang asli? Mudah-mudahan dalam waktu dekat si ayah surayah tergerak hatinya untuk bangun pagi-pagi buta dan kita berangkat pagi-pagi banget dari rumah ke kebun binatang. Gajah.. gajah.. gajah... YESS!

Catatan lain;
Derenten adalah sebutan orang Sunda jaman dulu untuk kebun binatang. Berasal dari kata Belanda DIERENTUIN yang artinya kebun binatang.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar