Senin, 23 Februari 2015

Cukur Gundul VS Gondrong Keriting

Hari Sabtu kemarin, kita sekeluarga menyempatkan diri pergi ke salon anak buat menggunduli Tipo.  Misi  hari ini dalam rangka menjadikan rambut Tipo (maunya) lebat, hitam, berkilau, seindah rambut Sunsilk. Umur Tipo sudah lebih dari setahun tapi pertumbuhan rambutnya bagai tanaman cabe kurang pupuk NPK.

 Berhubung  rambut bapaknya masuk kategori tebal, gue curiga si bocah ikut gen rambut keluarga bokap. Turunlah ke gue, dan sekarang diwariskan  ke Tipo. Soalnya waktu kecil rambut gue juga jarang-jarang dan  super tipis. Baru saat masuk SD rambut gue lebih mendingan jadi agak menebal, tapi berubah bentuk dari yang asalnya lurus menjadi keriting. 

Suami kok ya alergi sama rambut keriting dan atau ikal. Tiap lihat rambut gue bawaanya bawel nyuruh dilurusin terus. Kenapa sih? Kan lucuuu, mirip little Missy yang keruwel-keruwel dan  untel-untelan. Karena mendengar cerita gue soal rambut Tipo yang mirip kondisi emaknya semasa kecil, suami tambah khawatir kelak rambut Tipo juga keriting. 
                                                                  Gambarnya dari sini

Hey hey… apa sih yang salah dengan rambut keriting? Will Smith rambutnya keriting juga tapi ganteng tiada tara. Justin Timberlake rambutnya keriting tapi berhasil memikat Britney dan berakhir di altar menggandeng Jessica Biel. Orlando Bloom, saudara-saudara? James Franco, kawan-kawan? Tipo di masa depan 18 tahun lagi?

                                                                 Gambar dari sini

Keriting atau lurus masih jadi perdebatan, tapi kita sepakat di bagian “rambut tebal lebih baik.” Akhirnya diputuskanlah cara dari jaman dahulu kala yang sebenarnya gue juga nggak yakin-yakin banget, yaitu sering digunduli. Selain diberi ramuan minyak kemiri tiap malam. Yang mana bagian oles minyak kemiri ini selalu terlupakan. Sigh…

Singkat cerita, hari sabtu yang cerah ceria itu kita berangkat bertiga naik delman istimewa ku duduk di muka, hey ho. Boong deng nggak ada delman di sini. Oiya hari Jumat gue sempatin browsing dulu cari-cari salon anak yang;
1. dekat rumah
2. ada mainan
3. pegawai hati-hati, cermat dan telaten. Namanya toddler lagi senang membuat gerakan ajaib yang tiba-tiba. Serem aja lah kalau pisau cukur nyasar ke telinga. Amit-Amit.
4. murah tapi berkualitas.

Blog walking sebentar, ketemulah satu salon anak yang memenuhi kriteria di atas.  Ditetapkan bahwa salon anak ini yang akan kita datangi hari Sabtu. Sebenarnya poin nomor 4 meleset di kata “murah”nya sih. Waktu kita datang ke sana, setelah Tipo duduk manis di kursi mainan dan si pegawai salon mulai beraksi gue baru keingetan nanya ke kasir,
“Mbak,  berapa tarif potong rambut di salon ini?”
“50 ribu, bu”,
“Ooh, ok”.                                                                                                                     
Dalam hati gue mulai berencana. Membuat gerakan mengendap-endap ala ninja  di belakang kursi. Merebut Tipo dari  kekepan pegawai salon dan kabur menuju pintu keluar secepatnya.

Lima puluh ribu. Buat gue. Yang potong rambut ke salon sekali setahun. Dengan tarif 25 ribu. Adalah mahal bingiits, kakak…
Apalah daya Tipo udah duduk manis di atas kursi cukur, tukang salon udah kres kres kres memotong rambutnya yang secuwir dua cuwir. Gue terpaksa pasrah aja ngitung duit di pojokan. Mudah-mudahan cukup.

Memang harga nggak bohong. Cuma tiga menit, kepala Tipo udah licin tuntas rapi jali. Nggak ada sisa rambut berceceran di pundak dan baju Tipo. Kepala Tipo udah harum diolesi minyak penumbuh rambut. Leher dan tengkuk  bersih dibedaki. Tipo sendiri duduk manis anteng nggak banyak bergerak selama gunting cukur beraksi sambil diajak ngobrol sama pegawai salon. Udah gitu antriannya nggak sampai 5 menit dipanggil ke kursi eksekusi (dih serem amat).  Intinya jempol deh buat salonnya.                  
Gambar dari sini
                                                                                                                                                        
Tapiii sebagai emak-emak pelit penuh perhitungan, rasanya sayang banget bayar segitu Cuma buat 3 menit aja. Akhirnya kita bergeser ke  pojok mainan anak-anak. Sepertinya fungsi pojok mainan agar anak-anak yang takut dipotong rambut lebih rileks dan mau dipotong rambut sambil main. Ayo sayang, kita obrak-abrik tumpukan mainan di sana.  Total 30 menit Tipo main bongkar pasang, dorong-dorong walker, pencet mainan ini itu, pukul-pukul palu (mainan), pokoknya heboh deh. Sampai satu pegawai salon mulai bolak balik di sana, gue bisik-bisik sama suami “yuk, pulang sekarang”. Tipo masih anteng main sebenarnya waktu kita memutuskan pulang. Tak apa sayang, kita minta Ayah beli mainan yang sama persis, capcus beb. Giliran suami yang berhitung berapa total kerusakan kalau kita minta semua mainan seperti di sana.

Apa komentar orang-orang tentang penampilan baru Tipo? Semua sepakat kalau kepala gundul Tipo terlihat bersinar, berkilau, mengalahkan batu akik pancawarna, kecubung dan giok yang sekarang lagi booming.
Gambar dari sini

Mana foto-fotonya? Haduh gue paling malas kalau harus mendokumentasikan segala kegiatan tiap hari. Nanti deh kalau tiba-tiba kesurupan mat Kodak gue pajang foto-fotonya.


Anyhow buat yang berencana memotong/menggunduli rambut bayi dan anak, bisa datang ke Kids Smile Salon Jl. Buahbatu Nomor sekian (gatau berapa hahaha), pokoknya sebelah BJB Cabang Buahbatu atau seberang Borma dan Hokben Buahbatu. 



Selasa, 17 Februari 2015

Cita-citaku

     

Belajar memasak. Memasak sendiri di rumah. Sebenarnya gue sudah pernah belajar masak saat menganggur di rumah setahun setelah lulus kuliah. Sambil melamar kesana kemari,  gue belajar  masak sederhana, sayur sop, sayur lodeh, sayur asem, tumis-tumis, pepes ayam, pepes tahu. Selain masakan lauk pauk sehari-hari,  pernah belajar membuat cemilan, lemper, sus kering, sus vla, roti, pizza, bapao, cake sederhana, cookies standar. Idenya dari nyokap yang sebal melihat anaknya cuma tidur-tiduran ga jelas seharian di rumah. Gue dibeliin buku-buku resep dan home bakery. Terpilihlah roti unyil untuk dicoba. Siapa tahu bisa menyaingi roti unyil venus. Kita bikin roti usro.

Lemper dan sus were big hits! Sukses berat pokoknya. Pertama kali coba langsung enak, benar 100% secara penampakan dan rasa. Sus kering dan vla sampai bikin beberapa batch. Dibeli sendiri, dibuat sendiri, dimakan sendiri satu toples abis. Sisanya dibagi-bagi ke saudara, sekalian pamer, hehehe.

sus, hatiku meleleh karenamu
gambar dari sini

Pizza lumayan lah. Beberapa kali sukses, beberapa kali gagal. Tapi karena penggemar pizza, sementara rumah terpencil, kapan datangnya kalau  harus nunggu pizza hut atau domino’s membuka layanan pesan antar dengan armada helikopter  maka sering banget masak pizza. 

Topping pizza seadanya yang dijual di pasar dekat rumah. Ga mungkin pasar tradisional jual olive atau oregano. Paling banter  suwir ayam, kadang sapi giling, seringnya beli sosis so nice eceran  di warung sebelah. Makan so nice rame rame…. Sambil gotong royong rame rame…. Pantes aja anak gue suka nonton iklan so nice, lah emaknya udah menimbun sosis itu dari bertahun-tahun lalu.

Roti entah kenapa  selalu gagal. Antara kering atau bantat. Ga pernah empuk dan lembut. Menyamai roti bapuk 500 perak macam di warung dekat SD pun aku tak mampu.  Sampai browsing buka segala macam resep online, ikut milis NCC, jadi member forum memasak, teteeup aja rotinya ga mengembang. Mungkin si roti tipe setia kawan, tahu yang membuat  bantat juga.
  
Pernah juga belajar membuat pie. Kebetulan di rumah ada beberapa pinggan tahan panas. Resepnya juga nggak harus pakai mixer. Mendengar kata mixer jantung gue berasa berdetak lebih kencang. Sepertinya gue nggak berjodoh dengan adonan kue dan mixer. Alergi deh sama resep yang dikocok pakai mixer. Ujung-ujungnya selalu bantat itu kue.  Gue lebih memilih mencoba kue yang diuleni pakai tangan atau dikocok manual sebentar.


 Membuat pie ini diajari sama teman yang jago membuat pie. Andalannya pie buah dan pie vla jeruk. Hasilnya rata-rata lah. Bisa dimakan tapi gak bisa menyamai level teman gue. Ngomong-ngomong teman gue ini dari dulu udah memantapkan diri mau jadi SAHM (Stay At Home Mom). Jadi kalau datang ke rumahnya sering disuguhi kue-kue hasil eksperimen memasak yang jumlahnya segambreng. Hari ini belajar memasak ini, besok belajar memasak itu. Pokoknya persiapan buat jadi Ibu Rumah Tangga yang masakannya jempolan deh, TOP banget.  

Gue suka kalau udah telepon-teleponan dan diajak main ke rumahnya.  Suka basa-basi dulu dong, nanya tips resep ini itu, terus ujung-ujungya ditawari “ Kamu datang aja ke rumah, nanti aku ajari gimana cara bikin kue ini. Kita masak  bareng-bareng aja”. Yes yes langsung gue samber lah tawaran dia. Eits tapi gue tahu diri, datang gak Cuma datang bawa perut kosong begitu aja. Ngemodal  dong sedikit. Bawa terigu, bawa telur, bawa margarine secukupnya. Secukupnya sisa uang di dompet gue,maklum waktu masih pengangguran.

Kalau masak-memasak lauk pauk akhirnya jadi tuntutan. Karena diminta nyokap buat jadi juru masak rumah. Biarpun menunya gitu-gitu aja. Tapi rasa lumayan juga. Skor lumayan ini bias banget yah, soalnya yang makan Cuma gue, bokap, nyokap.  Nyokap kerja jadi daripada beliau harus bangun lebih pagi buat masak, mending minta anaknya yang masak. Bokap juga kalau gak makan masakan gue berarti gak makan dong. Jadi mana tahu kalau ternyata masakan gue sebenarnya nggak enak.

Menu standar masakan sehari-hari gak jauh dari sop/sayur bening/lodeh, tempe/tahu goreng, pepes tahu/ayam, tumis kangkung/pecay/bokcoy/keciwis, sambel miskin&lalap. Kenapa sambelnya dinamai sambel miskin? Karena isinya Cuma garam, gula, bawang merah 3 siung, dan terasi seujung sendok kecil. Itu aja sih, tapi bokap suka banget sambel model begini.

 Sayang seribu sayang, setelah gue dapat kerja di luar kota, kebiasan memasak ini jadi hilang. Penyebabnya karena tempat kos gue nggak ada dapur. Otomatis selama 3 tahun ngekos, gue Cuma bisa mengasah skill memasak indomie dan air panas aja. Perlahan memori gue akan cara memasak yang bener dan (mudah-mudahan) enak kehapus. Sementara kalau pulang ke rumah bawaannya manja pengen dimasakin masakan nyokap.

Akhirnya sekarang pada saat udah berumah tangga, gue udah lupa sama sekali gimana cara masak. Andalan gue sekarang Cuma orak-arik tempe, tahu goreng, sayur sop, dan telur dadar. Itupun kalau masih ada waktu nggak kesiangan berangkat ke kerja. Duuuh….. maafkan istrimu yang durhaka ini, suamiku.Tapi sebisa mungkin gue tiap pagi masak bekal makanan buat anak. Ya sih menunya itu-itu aja. Telur rebus, sayur sop daging, sayur sop ikan, pepes tahu ragout, rolade daging/rolade ikan, kukus ubi/labu,  tumis-apa-aja-yang-ada-di-kulkas-tapi-tolong-bukan-es-batu.



 Sebenarnya menu buat anak gue malah lebih variatif daripada menu buat kita orang tuanya. Entah kenapa gue nggak pede masak versi dewasanya. Mungkin karena masakan buat anak bumbunya Cuma bawang dan sedikit gula garam aja. Sementara kalau masak buat suami, tantangannya adalah bumbu yang lebih beragam, dengan takaran yang harus pas, setelah itu deg-degan menunggu  komentar “kok nggak ada rasanya sih?” . Ya ya ya gue bisa dibilang buta rasa sekarang. Menurut gue udah berasa enak, menurut suami belum dikasih bumbu. Baiklah suami, sini aku kasih bumbu cinta, tsaaah.

Terus sekarang gimana skill memasak gue? Yah, masih jongkok sih. Meskipun kemarin gue kembali berlangganan tabloid yang ada menu masak-memasaknya. Biarpun sampai detik ini menu-menu itu baru dibaca, dan diniatkan mau dimasak di akhir pecan, biarpun baru sebatas niat, mudah-mudahan benar terlaksana. Karena niat pun sudah dianggap setengah dilaksanakan. Aamiin. 

Senin, 16 Februari 2015

Khilafnya Seorang Virtual Shopper

I'm an addicted virtual shopper. sering banget window browsing online shop, terus kalap mata, terus masukin barang-barang ke cart, terus ditinggalin kerja seharian, terus pulang aja tanpa checkout. Besoknya udah lupa kejadian kemarin. Terus buka lagi online shop, berulang lagi ritual seperti hari-hari kemarin. Beberapa kali (dalam sebulan) gue khilaf, antara sadar dan nggak sadar mengisi form sampai tamat. Tiba-tiba muncul pop up window "terima kasih sudah berbelanja dengan kami, silahkan isi konfirmasi pembayaran jika sudah mentransfer ke rekening kami."




Gambarnya diambil dari sini

Untungnya (apa sih yang nggak untung buat orang Indonesia?), gue membentengi diri dengan lafaz "gak punya mobile/sms/internet banking" Alhamdulillah wa syukurilah. Males lah gue curi-curi waktu (lagi) pergi ke ATM terdekat. Yang mana jarak ATM terdekat itu cuma 10 menit jalan kaki aja ke jalan besar. Kalau gak banjir.  Kalau gak panas. Kalau gak disuruh bos membuat laporan ke pusat. 
Jadi untuk beberapa kasus gue selamat. Rekening gak kebobolan. 

Tapi ada saat dimana tiba-tiba di sebelah meja muncul teman kantor yang baik hati, suka meminjamkan mobile bankingnya untuk dipergunakan di jalan sesat. Jalan orang-orang yang tergoda untuk online shopping perintilan yang nggak penting-penting banget. Jalan penuh lika liku display baju yang cocok dipakai model tapi belum tentu pas di badan gue yang seseksi minion ini. Dan berkubanglah gue di jalan ini. Segala dibeli, mulai dari baju, sepatu, tas, kosmetik, jam tangan, underwear, alat-alat rumah tangga, sampai popok bayi sekali pakai yang sebenarnya di supernarket sebelah rumah harganya lebih murah dibanding harga diskon online shop plus ongkos kirim volume bulknya. Susah memang melepaskan diri dari online shop. Sebagai wanita yang fitrahnya adalah berbelanja, berusaha untuk tidak online barang sepuluh menit atau tidak bertukar info diskon di grup whatsapp dan BBM bagai mendaki gunung Olympus. Ribet dan jauh aja bo harus ke Yunani!

Sebetulnya gue mau menunjukkan gambar Gunung Olympus. Apa daya saat Googling malah kepincut ini 


Gue inget dulu pernah nonton Oprah episode hoarders. Para hoarders ini kemudian dibuat serialnya. Ngeri juga yah banyak ternyata orang-orang di dunia ini yang punya kecenderungan menumpuk barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Semua dibeli, dikumpulkan, dipungut, dan tidak boleh dibuang. Bahkan barang-barang yang sebenarnya layak masuk kategori sampah. Mudah-mudahan gw bukan termasuk golongan hoarders ini. Sebisa mungkin saat akal sehat masih bisa meredam nafsu belanja, gue memikirkan dahulu apakah barang yang akan dibeli ini masih ada substitusinya yang masih bisa dipakai di rumah atau nggak. Satu tips dari Oprah saat itu, ketika kita membeli satu barang baru maka kita harus mengeluarkan satu barang lama dari rumah. Apakah itu dikeluarkan untuk masuk ke tempat sampah karena sudah rusak, atau kalau masih layak kita sumbangkan kepada orang lain yang membutuhkan. Kalau di akuntansi ada istilah FIFO (first in first out), maka istilah yang tepat untuk ini mungkin OIOO (One In One Out). Ribet juga yah bilangnya, mirip suara Tarzan saat berayun di hutan.

OIOOOO.. let's go shopping ke belantara mall!! Kemudian dilempar tumpukan  kardus pembungkus paket online shop sama suami.


Menulis itu...

1. ... seperti saat mendekati gebetan. Pengen rasanya berada di sebelah orang itu. Tapi kok, susah banget sih buat melangkah? Satu langkah saja, sudah membuat kaki gemetaran. Jadi apa nggak? Kaki mana dulu yang harus dilangkahkan? Apa gak usah aja yah? Apa nanti aja yah kalau sudah sepi? Kapan sih sepinya? Malam Jumat Kliwon?

2. ... Seperti sehabis makan sambal korek bebek H. Slamet saat rapat kantor. Antara pengen disetor saat itu juga dan pengen ditahan sampai presentasi selesai. Mood mood-an banget lah.

3. ....seperti saat ini, gue menghabiskan waktu 5 menit aja buat memikirkan kata pertama yang akan gue tulis setelah judul di atas.

Years ago i used to wrote on a journal, the kind of personal journal, of course. Meskipun gak tiap hari menulis, tapi ada lah satu dua kejadian yang membekas di hati dan membuat gue bertekad harus menulis pengalaman tersebut di jurnal. Biarpun kejadian maha penting itu cuma sekedar berpapasan di lorong sekolah sama gebetan, tetep gue tulis dengan khusyuk. Pake preambul standar "dear diary" endebray endebrey. It was fun, i was excited. Apalagi saat membaca kembali tulisan-tulisan gue. Rasanya gue yakin 20 tahun kemudian jurnal gue akan diterbitkan oleh penerbit terkenal dan menjadi best seller nasional. Gue juga menambahkan ilustrasi-ilustrasi sederhana, siapa tahu pembaca kelak haus akan penggambaran akan manisnya wajah gebetan-gebetan gue.

Kemudian masa malas menulis itu datang. Pekerjaan, pacaran, pernikahan, anak, rumah tangga menyerap energi gue. Bahkan pacaran yang dulu gue gadang-gadang akan menjadi sumber entri jurnal paling moncer ternyata malah membuat gue jadi kontraproduktif. Gimana gak males, kalau selama pacaran /persiapan pernikahan gue lebih tertarik browsing seharian  "tips menghilangkan bekas jerawat menahun", "20 cara mengetahui apakah dia belahan jiwa anda", "EO pernikahan Tradisional", "Ide Souvenir Wedding Murah" "Resep Masakan Sederhana", Hilanglah sudah angan-angan kontrak buku yang menjadikan gue multi jutawan.
Satu buku super imut yang tebal akhirnya cuma jadi pemanis rak buku berdebu selama lima tahun terakhir. Berapa banyak entri yang gue tulis selama lima tahun itu? Cuma 3 lembar saudara-saudara.  Itupun isinya lebih mirip kutipan kalimat daripada satu atau dua paragraf utuh.

Nah, tiba-tiba gue suka lupa juga mau nulis apa setelah ini. Ide yang tadinya sudah muncul berderet siap ditumpahkan di sini tiba-tiba aja menguap macam parfum kena panas.

Ah, nanti deh gue lanjutin lagi kalau udah ada ide.
Radar menangkap bos mendekat. Pindah buka worksheet. Lanjut kerja.

Satu, dua, tiga.

Mulailah kembali gue membuat blog. Setelah multiply yang tewas bertahun-tahun lalu tanpa sempat menyelamatkan dokumen dan foto-foto penting di dalamnya.
Salah siapa yang bahkan user name dan passwordnya aja lupa? Ya ya ya, jangan salahkan bunda mengandung, pecahkan saja gelasnya biar ramai satu kampung. Nah ini dia, mulai ketahuan angkatan berapa, mulai ketauan idolanya siapa.

Blog ini kemudian didedikasikan sebagai pelepas beban kerja yang tidak diimbangi oleh take home pay memuaskan, yang lalu ditambah oleh masalah yang mendera. Kenapa tidak membuat status atau notes di Facebook saja seperti biasanya? Wahai kawan, Facebook sudah terlalu ramai oleh orang-orang yang berusaha menyusup dan memata-matai gue.
I know i know, it's cool to have such an aficiado, right (not)? eym... eym....

Proclaims:
Tidak ada jaminan bahwa blog ini kemudian akan rajin diperbarui tiap minggu. Siapa yang tahu mungkin saja gue terlalu sibuk memasang tali sepatu.  Yang pasti, gue jadikan blog ini sebagai terapi. Secara bu-ibu, terapi ke psikolog itu lumenjen menguras dompet gue yahaaaa...
Tidak akan ada kepastian juga apakah banyak foto-foto pribadi yang menghiasi hari-hari cerah pembaca sekalian.

This is it *sodorin dada, goyang-goyang pinggul* #eh.